“Plek, plek, plek,“ suara sandal tidurku
terus terdengar di lantai keramik rumah Nenek yang luas. Namun tetap saja aku
tidak menggubrisnya, walaupun suara itu terdengar keras dan jelas. Aku tetap
terus berjalan menuju ke arah almari tua itu. Entah mengapa, sungguh rasa ingin
tahuku terus tumbuh di dalam hatiku saat aku berjalan semakin dekat ke arah
almari itu. Akhirnya beberapa detik kemudian, aku pun sudah sampai di depan
almari usang itu karena memang letak almari itu tidaklah jauh dari kamarku.
“Untung
semua lamu di rumah ini telah dimatikan. Baguslah,” gumamku pelan dengan penuh
rasa syukur.
Aku
pun kembali bergumam sambil terus menarik alamari itu ke arah luar, “Duh kok gak bisa sih. Bismillah, bismillah.” Aku tetap berusaha dan bersikukuh untuk
harus bisa membuka almari tersebut.
Perlahan,
kulangkahkan kakiku ke arah belakang satu persatu untuk mundur lima langkah
dari posisiku yang sekarang ini. Setelah aku mundur lima langkah ke belakang,
aku pun mengambil ancang-ancang untuk menendang almari tersebut. Dengan hati
yang sudah mantap dan tekadku yang sudah bulat, aku pun langsung berlari ke
arah depan dan dengan cepat kutendang almari itu. “Duer, prang, prang, prang!” suara gaduh terdengar dari dalam almari
tersebut yang dugaanku itu merupakan suara barang berupa kaca yang pecah.
Sesaat kemudian, aku pun bersorak
gembira karena akhirnya almari antik tersebut dapat terbuka lebar, “Alhamdulillah,
yes!” sontak pun aku meloncat karena senang. Akhirnya almari itu berhasil
terbuka! Tetapi, beberapa saat kemudian, aku langsung tersontak kaget karena
benda-benda seperti piring, gelas, dan mangkuk-mangkuk kuno terus berjatuhan
dari dalam almari tersebut. Benda itu berhamburan keluar bergitu saja dan
mengeluarkan suara kegaduhan yang luar biasa. Aku pun segera menjauh dari
tempat tersebut namun aku masih tetap mengamatinya dari kejauhan.
“Prank, prank, prank, duer, ptar!” suara
pecahan benda-benda itu terus terdengar dan tak ada hentinya. Walau sudah aku
coba untuk menahannya agar tidak keluar berhamburan, tetapi tetap saja karena
tendanganku yang lumayan keras, akhirnya almari itu mengeluarkan semua benda
yang ada di dalamnya. Aku bertambah panik ketika almari itu sedikit
berderak-derak. “Matilah, “ pikirku.
“Ah,
suara apa sih itu berisik sekali! Ganggu aja!” aku mendengar suara teriakan
dari arah luar ruang keluarga. Dan aku rasa suara itu berasal dari lantai dua
rumah Nenek. Jantungku semakin berdegup kencang.
“Aduh
bagaimana ini?” pikirku dalam hati.
Beberapa
detik kemudian, benda-benda tersebut sudah berhenti berhamburan keluar dari
dalam almari. Aku pun merasa lega seklaigus ketakutan karena banyaknya puing-puing
kaca pring, gelas, mangkuk dan benda-benda kuno lainnya yang terbuat dari besi
yang berserakan di atas lantai depan almari tersebut. Segera saja aku bergegas
untuk pergi meninggalkan ruang keluarga tersebut dan berlari menuju kamarku
untuk mengambil serok, sapu, dan tas kresek.
Aku
berlari dengan kencangnya dan segera mengambil semua benda tersebut di
dalam kamarku. Lalu aku pun segera
kembali ke pojok ruang keluarga untuk membereskan semua benda yang terjatuh
dari almari tersebut. Hingga pada pengujung jalan untuk sampai ke ruang
keluarga, aku sudah melihat beberapa saudaraku, ibuku, dan Nenekku berada di
sana dan mengelilingi almari itu serta berada di antara serpihan-serpihan benda
kuno yang terbuat dari kaca tersebut. Segera saja aku berjalan pelan-pelan
menuju kamarku agar mereka semua tidak menuduhku dan merasa aneh padaku.
Setelah
sampai di kamarku yang tenang dan nyaman. Aku pun meletakkan semua benda yang
akan aku gunakan untuk membereskan pecahan piring, gelas, mangkuk, dan
benda-benda kuno lainnya tadi, dan aku pun perlahan berjalan ke luar kamar
menuju ruang keluarga dengan berpura-pura tidak mengethaui apa-apa. Rambutku
kubuat menjadi acak-acakan dan aku akan berpura-pura akting seperti orang yang
baru saja bangun dari tidurnya.
Aku
berjalan perlahan dan setelah sampai di ruang keluarga, semuanya langsung
menoleh ke arahku dengan pandangan heran dan marah. Jantungku pun mulai
berdegup kencang dan aku pun mulai bekeringat dingin karena takut ketahuan.
Akan tetapi aku terus berusaha untuk mengabaikan rasa takut itu dan tetap fokus
untuk berakting.
“Kamu
tuh dari mana saja sih Vik? Masa ada
suara gaduh banget begini kamu baru bangun? Memangnya kamu ngantuk banget atau
gimana?” Mbak Fara memandangku dengan pandangan tajam dan ia bertolak pinggang.
Belum
saja aku semoat angkat bicara, Mas Dio langsung menyahut ucapan Mbak Fara, “Iya
Vik. Kamu ini gak denger atau memang pura-pura gak denger atau gimana ya? Ini
keras banget lho. Tuh lihat Vik, lantainya aja sampai penuh pecahan beling
begitu.” Ia memandangku dengan pandangan marah dan wajahnya mendadak semakin
merah.
Aku
pun langsung angkat bicara dan menundukkan kepalaku seperti layaknya orang yang
bersalah, “Ya maaf ya semua, soalnya aku ngantuk banget. Jadi ya, aku telat deh
kebangunnya, terus jadi telat ke sininya. Maaf kalau aku lama banget
bangunnya.”
“Maaf
sekali. Atau memang perlu kubereskan semua ini? Kalau perlu, akan Vika bereskan
sekarang juga,” ujarku sembari membenarkan rambutku yang lumayan acak-acakan.
“Sebentar
deh, aku mau tanya. Emang kamu
beneran gak tau apa-apa Vik tentang kejadian mengerikan ini? Kalau setahu aku
biasanya kamu yang suka bangun malam-malam gitu. Yeah, walau hanya sekedar buat
ke kamar mandi atau apalah, tapi kamu yang paling sering bangun malam. Terus
diantara kita ini udah pada ngaku kalau gak ada yang coba buka-buka almari ini,
soalnya almari ini dikunci. Nah, kamu tadi coba buka-buka gak sebelum kita
semua datang ke sini?” Mbak Shafa menanyaiku dengan cermat seakan-akan aku
adalah seorang tersangka.
“Hah?
Enggak kok. Aku gak coba-coba buka almarinya. Memangnya aku bisa coba buka
almari ini?” aku berusaha untuk mengelak.
“Sudahlah
Vik ngaku aja. Kamu kan yang datang paling telat, jadi ya mungkin saja kamu
yang membuat semua kegaduhan ini, “ ujar Mas Tomi. Mas Tomi pun melanjutkan
perkataannya, “Kamu mungkin bisa aja buka alamri ini dengan paksa, ya mungkin
kamu tendang atau kamu lempar apa gitu?”
“Kok
pada nyalahin aku sih?” aku pun tetap mengelak dan bernada sedikit marah.
“Ya
iyalah, orang kamu yang datang paling telat. Terus kamu juga agak aneh gitu sih
gerak-geriknya. Kalau bukan kamu, terus siapa?” Mbak Shafa juga terus
menyalahkanku. Ya, walau dalam hati aku berpikir bahwa itu benar.
“Sudahlah
sudah, jangan saling menyalahkan. Mending kalau kalian menduga kalau itu Vika,
suruhlah agar dia membereskan semua ini saja dan menutup almarinya kembali
saja. Jangan malah dimarahin begitu. Walau kalian marahin dia, tetapi kalau
terus begini terus cuma marah-marah doang isinya, ya kapan selesainya?” ujar
Mbak Mutia. Rupanya idenya lumayan cerdik juga.
“Ya
sudah, benar apa kata Mutia. Sekarang kita tidur lagi saja. Sepertinya memang
dia pelakunya dan haruslah ia juga yang bertanggung jawab. Benar kan Vika?” Ibu
memandangiku penuh makna dan arti. Seolah Ibu menyuruhku untuk mengakui bahwa
akulah pelakunya. Namun aku hanya terdiam seribu bahasa saja ketika Ibu berkata
seperti itu.
“Baiklah
Vik, kita semua mau tidur lagi. Kamu cepetan bersihin ya, bahaya nih,” ujar
Mbak Titan yang sudah tidak naik darah lagi.
“Baiklah,
“ aku sudah menyerah dengan semua aktingku. Pikirku, mungkin semua aktingku
memang tidak akan mempan untuk melawan mereka semua yang sudah lebih
berpenglaman.
Akhirnya
kuputuskan untuk kembali ke kamar untuk mengambil serok dan sapu lantai yang
akan aku gunakan untuk membersihkan semua pecahan barang kuno tadi. Kemudian
aku berjalan pelan menuju ke arah pojok ruang keluarga tadi, dimana di sana ada
sebuah almari tua yang sangat membuatku penasaran.
Tiba-tiba,
saat aku sedang membersihkan semua pecahan barang kuno tersebut dan menyapunya
dengan teliti dan sangat berhati-hati, aku menemukan sebuah kotak musik yang
teramat sangat indah dengan warna biru dan beberapa motif bunga
disekelilingnya. Walaupun kotak musik itu sedikit berdebu, namun aku tetap
tertarik padanya. Bentuknya yang lucu serta patung balerina yang bisa menari di
atasnya, membuatku sangat tertarik padanya.
“Ah,
aku harus cepat-cepat beresin semua ini nih,” guamamku pelan karena aku sudah
tidak sabar lagi ingin memainkan kotak musik tersebut.
“Krek, klotak, klotak, prank,” suara
pecahan gelas, piring, mangkuk, serta benda-benda kuno yang terbuat dari kaca
tadi berjatuhan sedikit demi sedikit ke dalam tempat sampah di ruang keluarga
yang kini sepi ini. Setelah itu, langsung cepat-cepat aku mancari kunci dari
kotak musik tersebut.
Beberapa
menit kemudian, aku menemukan kunci kotak musik yang cantik yang kini berada di
genggamanku ini berada di bawah almari antik tersebut. Langsung saja tanpa
berpikir panjang kujulurkan tanganku ke arah kolong almari yang gelap untuk
mengambilnya. Namun, ketika aku akan mengambilnya ada seseorang juga yang
sepertinya menarik kunci kotak musik tersebut. Tiba-tiba kulihat tangan putih
pucat dengan jemari yang panjang menjulur keuar dan sepertinya menjadi lebih
kuat untuk menarik kunci tersebut. Sontak aku sangat kaget dan dengan cepat
langsung kutarik kunci kotak musik tersebut dan berhasil. Sesaat aku merasa
gembira dan langsung berlari tanpa menoleh ke belakang kembali. Ku masuk ke
dalam kamarku yang kurasa aman dan segera ku kunci pintu kamarku rapat-rapat.
“Huft, pft, hahhh,” nafasku
terengah-engah bagaikan telah berlari sangat jauh dan cepat. Aku masih merasa
merinding dengan kejadian di ruang keluarga tadi. Akan tetapi, kucoba untuk
melupakannya.
Aku
bergumam dengan nafasku yang masih terengah-engah, “Untung saja aku berhasil
menarik kunci ini dari orang yang juga ingin mengambilnya itu.” Aku memasukkan
kunci dengan gantungan yang terbuat dari seutas benang tersebut ke dalam lubang
kunci yang ada di kotak musik tersebut. Sedetik kemudian, aku dapat melihat
balerina yang cantik sedang menari di atasnya dan berputar-putar. “Sungguh indah sekali, “ pikirku.
Kutenangkan
batinku sejenak dan kulirik jam dinding yang berada di pojok kanan atas kamarku
yang berbentuk persegi panjang. Ternyata jam dinding sudah menunjukkan tepat
pukul dua pagi. Segera saja aku langsung menarik kunci itu dari kotak musik
yang aku temuakan, merebahkan diriku di atas ranjang tidurku yang empuk, dan
menarik selimutku ke atas rapat-rapat. Dalam hati aku senang dan terhibur
karena kotak musik indah yang aku temukan. Namun di sisi lain, aku masih terus
teringat dan terbayang-bayang oleh jemari panjang yang juga berusaha merebut
kunci kotak musik tersebut dariku. Walau telah kucoba untuk tidak memikirkannya
dan melupakannya, namun tetap saja aku susah untuk melupakannya.
***