Minggu, 31 Mei 2015

Kotak Musik Saphira (Bag. 4)




            Plek, plek, plek,“ suara sandal tidurku terus terdengar di lantai keramik rumah Nenek yang luas. Namun tetap saja aku tidak menggubrisnya, walaupun suara itu terdengar keras dan jelas. Aku tetap terus berjalan menuju ke arah almari tua itu. Entah mengapa, sungguh rasa ingin tahuku terus tumbuh di dalam hatiku saat aku berjalan semakin dekat ke arah almari itu. Akhirnya beberapa detik kemudian, aku pun sudah sampai di depan almari usang itu karena memang letak almari itu tidaklah jauh dari kamarku.
            “Untung semua lamu di rumah ini telah dimatikan. Baguslah,” gumamku pelan dengan penuh rasa syukur.
            Aku pun kembali bergumam sambil terus menarik alamari itu ke arah luar, “Duh kok gak bisa sih. Bismillah, bismillah.” Aku tetap berusaha dan bersikukuh untuk harus bisa membuka almari tersebut.
            Perlahan, kulangkahkan kakiku ke arah belakang satu persatu untuk mundur lima langkah dari posisiku yang sekarang ini. Setelah aku mundur lima langkah ke belakang, aku pun mengambil ancang-ancang untuk menendang almari tersebut. Dengan hati yang sudah mantap dan tekadku yang sudah bulat, aku pun langsung berlari ke arah depan dan dengan cepat kutendang almari itu. “Duer, prang, prang, prang!” suara gaduh terdengar dari dalam almari tersebut yang dugaanku itu merupakan suara barang berupa kaca yang pecah.
Sesaat kemudian, aku pun bersorak gembira karena akhirnya almari antik tersebut dapat terbuka lebar, “Alhamdulillah, yes!” sontak pun aku meloncat karena senang. Akhirnya almari itu berhasil terbuka! Tetapi, beberapa saat kemudian, aku langsung tersontak kaget karena benda-benda seperti piring, gelas, dan mangkuk-mangkuk kuno terus berjatuhan dari dalam almari tersebut. Benda itu berhamburan keluar bergitu saja dan mengeluarkan suara kegaduhan yang luar biasa. Aku pun segera menjauh dari tempat tersebut namun aku masih tetap mengamatinya dari kejauhan.
            Prank, prank, prank, duer, ptar!” suara pecahan benda-benda itu terus terdengar dan tak ada hentinya. Walau sudah aku coba untuk menahannya agar tidak keluar berhamburan, tetapi tetap saja karena tendanganku yang lumayan keras, akhirnya almari itu mengeluarkan semua benda yang ada di dalamnya. Aku bertambah panik ketika almari itu sedikit berderak-derak. “Matilah, “ pikirku.
            “Ah, suara apa sih itu berisik sekali! Ganggu aja!” aku mendengar suara teriakan dari arah luar ruang keluarga. Dan aku rasa suara itu berasal dari lantai dua rumah Nenek. Jantungku semakin berdegup kencang.
            “Aduh bagaimana ini?” pikirku dalam hati.
            Beberapa detik kemudian, benda-benda tersebut sudah berhenti berhamburan keluar dari dalam almari. Aku pun merasa lega seklaigus ketakutan karena banyaknya puing-puing kaca pring, gelas, mangkuk dan benda-benda kuno lainnya yang terbuat dari besi yang berserakan di atas lantai depan almari tersebut. Segera saja aku bergegas untuk pergi meninggalkan ruang keluarga tersebut dan berlari menuju kamarku untuk mengambil serok, sapu, dan tas kresek.
            Aku berlari dengan kencangnya dan segera mengambil semua benda tersebut di dalam  kamarku. Lalu aku pun segera kembali ke pojok ruang keluarga untuk membereskan semua benda yang terjatuh dari almari tersebut. Hingga pada pengujung jalan untuk sampai ke ruang keluarga, aku sudah melihat beberapa saudaraku, ibuku, dan Nenekku berada di sana dan mengelilingi almari itu serta berada di antara serpihan-serpihan benda kuno yang terbuat dari kaca tersebut. Segera saja aku berjalan pelan-pelan menuju kamarku agar mereka semua tidak menuduhku dan merasa aneh padaku.
            Setelah sampai di kamarku yang tenang dan nyaman. Aku pun meletakkan semua benda yang akan aku gunakan untuk membereskan pecahan piring, gelas, mangkuk, dan benda-benda kuno lainnya tadi, dan aku pun perlahan berjalan ke luar kamar menuju ruang keluarga dengan berpura-pura tidak mengethaui apa-apa. Rambutku kubuat menjadi acak-acakan dan aku akan berpura-pura akting seperti orang yang baru saja bangun dari tidurnya.
            Aku berjalan perlahan dan setelah sampai di ruang keluarga, semuanya langsung menoleh ke arahku dengan pandangan heran dan marah. Jantungku pun mulai berdegup kencang dan aku pun mulai bekeringat dingin karena takut ketahuan. Akan tetapi aku terus berusaha untuk mengabaikan rasa takut itu dan tetap fokus untuk berakting.
            “Kamu tuh dari mana saja sih Vik? Masa ada suara gaduh banget begini kamu baru bangun? Memangnya kamu ngantuk banget atau gimana?” Mbak Fara memandangku dengan pandangan tajam dan ia bertolak pinggang.
            Belum saja aku semoat angkat bicara, Mas Dio langsung menyahut ucapan Mbak Fara, “Iya Vik. Kamu ini gak denger atau memang pura-pura gak denger atau gimana ya? Ini keras banget lho. Tuh lihat Vik, lantainya aja sampai penuh pecahan beling begitu.” Ia memandangku dengan pandangan marah dan wajahnya mendadak semakin merah.
            Aku pun langsung angkat bicara dan menundukkan kepalaku seperti layaknya orang yang bersalah, “Ya maaf ya semua, soalnya aku ngantuk banget. Jadi ya, aku telat deh kebangunnya, terus jadi telat ke sininya. Maaf kalau aku lama banget bangunnya.”
            “Maaf sekali. Atau memang perlu kubereskan semua ini? Kalau perlu, akan Vika bereskan sekarang juga,” ujarku sembari membenarkan rambutku yang lumayan acak-acakan.
            “Sebentar deh, aku mau tanya. Emang kamu beneran gak tau apa-apa Vik tentang kejadian mengerikan ini? Kalau setahu aku biasanya kamu yang suka bangun malam-malam gitu. Yeah, walau hanya sekedar buat ke kamar mandi atau apalah, tapi kamu yang paling sering bangun malam. Terus diantara kita ini udah pada ngaku kalau gak ada yang coba buka-buka almari ini, soalnya almari ini dikunci. Nah, kamu tadi coba buka-buka gak sebelum kita semua datang ke sini?” Mbak Shafa menanyaiku dengan cermat seakan-akan aku adalah seorang tersangka.
            “Hah? Enggak kok. Aku gak coba-coba buka almarinya. Memangnya aku bisa coba buka almari ini?” aku berusaha untuk mengelak.
            “Sudahlah Vik ngaku aja. Kamu kan yang datang paling telat, jadi ya mungkin saja kamu yang membuat semua kegaduhan ini, “ ujar Mas Tomi. Mas Tomi pun melanjutkan perkataannya, “Kamu mungkin bisa aja buka alamri ini dengan paksa, ya mungkin kamu tendang atau kamu lempar apa gitu?”
            “Kok pada nyalahin aku sih?” aku pun tetap mengelak dan bernada sedikit marah.
            “Ya iyalah, orang kamu yang datang paling telat. Terus kamu juga agak aneh gitu sih gerak-geriknya. Kalau bukan kamu, terus siapa?” Mbak Shafa juga terus menyalahkanku. Ya, walau dalam hati aku berpikir bahwa itu benar.
            “Sudahlah sudah, jangan saling menyalahkan. Mending kalau kalian menduga kalau itu Vika, suruhlah agar dia membereskan semua ini saja dan menutup almarinya kembali saja. Jangan malah dimarahin begitu. Walau kalian marahin dia, tetapi kalau terus begini terus cuma marah-marah doang isinya, ya kapan selesainya?” ujar Mbak Mutia. Rupanya idenya lumayan cerdik juga.
            “Ya sudah, benar apa kata Mutia. Sekarang kita tidur lagi saja. Sepertinya memang dia pelakunya dan haruslah ia juga yang bertanggung jawab. Benar kan Vika?” Ibu memandangiku penuh makna dan arti. Seolah Ibu menyuruhku untuk mengakui bahwa akulah pelakunya. Namun aku hanya terdiam seribu bahasa saja ketika Ibu berkata seperti itu.
            “Baiklah Vik, kita semua mau tidur lagi. Kamu cepetan bersihin ya, bahaya nih,” ujar Mbak Titan yang sudah tidak naik darah lagi.
            “Baiklah, “ aku sudah menyerah dengan semua aktingku. Pikirku, mungkin semua aktingku memang tidak akan mempan untuk melawan mereka semua yang sudah lebih berpenglaman.
            Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kamar untuk mengambil serok dan sapu lantai yang akan aku gunakan untuk membersihkan semua pecahan barang kuno tadi. Kemudian aku berjalan pelan menuju ke arah pojok ruang keluarga tadi, dimana di sana ada sebuah almari tua yang sangat membuatku penasaran.
            Tiba-tiba, saat aku sedang membersihkan semua pecahan barang kuno tersebut dan menyapunya dengan teliti dan sangat berhati-hati, aku menemukan sebuah kotak musik yang teramat sangat indah dengan warna biru dan beberapa motif bunga disekelilingnya. Walaupun kotak musik itu sedikit berdebu, namun aku tetap tertarik padanya. Bentuknya yang lucu serta patung balerina yang bisa menari di atasnya, membuatku sangat tertarik padanya.
            “Ah, aku harus cepat-cepat beresin semua ini nih,” guamamku pelan karena aku sudah tidak sabar lagi ingin memainkan kotak musik tersebut.
            Krek, klotak, klotak, prank,” suara pecahan gelas, piring, mangkuk, serta benda-benda kuno yang terbuat dari kaca tadi berjatuhan sedikit demi sedikit ke dalam tempat sampah di ruang keluarga yang kini sepi ini. Setelah itu, langsung cepat-cepat aku mancari kunci dari kotak musik tersebut.
            Beberapa menit kemudian, aku menemukan kunci kotak musik yang cantik yang kini berada di genggamanku ini berada di bawah almari antik tersebut. Langsung saja tanpa berpikir panjang kujulurkan tanganku ke arah kolong almari yang gelap untuk mengambilnya. Namun, ketika aku akan mengambilnya ada seseorang juga yang sepertinya menarik kunci kotak musik tersebut. Tiba-tiba kulihat tangan putih pucat dengan jemari yang panjang menjulur keuar dan sepertinya menjadi lebih kuat untuk menarik kunci tersebut. Sontak aku sangat kaget dan dengan cepat langsung kutarik kunci kotak musik tersebut dan berhasil. Sesaat aku merasa gembira dan langsung berlari tanpa menoleh ke belakang kembali. Ku masuk ke dalam kamarku yang kurasa aman dan segera ku kunci pintu kamarku rapat-rapat.
            Huft, pft, hahhh,” nafasku terengah-engah bagaikan telah berlari sangat jauh dan cepat. Aku masih merasa merinding dengan kejadian di ruang keluarga tadi. Akan tetapi, kucoba untuk melupakannya.
            Aku bergumam dengan nafasku yang masih terengah-engah, “Untung saja aku berhasil menarik kunci ini dari orang yang juga ingin mengambilnya itu.” Aku memasukkan kunci dengan gantungan yang terbuat dari seutas benang tersebut ke dalam lubang kunci yang ada di kotak musik tersebut. Sedetik kemudian, aku dapat melihat balerina yang cantik sedang menari di atasnya dan berputar-putar. “Sungguh indah sekali, “ pikirku.
            Kutenangkan batinku sejenak dan kulirik jam dinding yang berada di pojok kanan atas kamarku yang berbentuk persegi panjang. Ternyata jam dinding sudah menunjukkan tepat pukul dua pagi. Segera saja aku langsung menarik kunci itu dari kotak musik yang aku temuakan, merebahkan diriku di atas ranjang tidurku yang empuk, dan menarik selimutku ke atas rapat-rapat. Dalam hati aku senang dan terhibur karena kotak musik indah yang aku temukan. Namun di sisi lain, aku masih terus teringat dan terbayang-bayang oleh jemari panjang yang juga berusaha merebut kunci kotak musik tersebut dariku. Walau telah kucoba untuk tidak memikirkannya dan melupakannya, namun tetap saja aku susah untuk melupakannya.
***

Sabtu, 30 Mei 2015

Kotak Musik Saphira (Bagian 3)



Perlahan, aku mendengar ada suara seorang gadis kecil yang memanggil namaku dari kejauhan. Suara itu terdengar samar-samar, sangat lirih, dan juga lembut. “Vika, “ panggilnya. Namun aku hanya diam saja di kursi goyang yang biasa Nenek gunakan untuk bersantai, sambil terus memutar kunci sebuah kotak musik baru yang sangat bagus dan cantik yang berwarna biru muda dengan beberapa motif bunga di sekelilingnya.
Namun aku mendengar suara yang lainnya dikemudian waktu, “Vika! Jangan mainkan itu!” teriak seseorang yang berlari dari arah belakangku dengan wajah panik dan cemas. Seseorang itu berseru lagi padaku sambil terus berlari dengan kencang, “Vika! Stop Vika!” sepertinya itu adalah suara seorang gadis remaja.
Walaupun ia terus berseru padaku dengan wajah cemas yang mendalam, akan tetapi tetap saja aku terus memainkan kotak musik tersebut sambil terus mendengarkan sebuah irama yang keluar dari dalamnya. Entah mengapa, aku menyuakinya.
 “Vika kemarilah. Ayo kita bermain bersama!” suara samar-samar itu terdengar kembali, namun jauh lebih keras. “Vika, “ panggil suara gadis kecil itu kembali. Sekarang aku dapat mendengar suaranya dengan jelas. Suaranya berasal dari atas loteng rumah nenek.
 “Vika! Berhenti mainkan itu!” teriak suara seorang gadis remaja yang kemudian menggendongku dan membawaku keluar dari dalam kamar yang aku tinggali untuk tidur pada saat itu. Kamar yang sama yang sekarang aku gunakan untuk tidur pada saat berlibur. Padahal kotak musik itu masih ada di genggamanku.
Sesaat kemudian, tiba-tiba, dengan perlahan aku bisa mendengar suara lirih yang kurasa munculnya dari alam yang lain. Sedikit demi sedikit suara itu terdengar semakin keras dan keras, juga nyaring.
“Vikaaa! Jangan tidur oii!” teriak suara yang sesaat terdengar lebih keras dan keras dari alam luar pikiranku. Aku pun tersentak kaget dan membuka kedua belah mataku. Jantungku langsung berdegup sangat kencang. Aku langsung mengusap-usap mataku dengan tangan kananku karena semuanya masih terlihat samar-samar.
“Kamu tadi ngapain sih? Pake tidur segala?” tanya Mas Kevin kepadaku.
“Hah? Memangnya aku tidur ya mas?” aku bertanya balik dengan bingung.
“Iya. Kan tadi kamu sandaran di kursi sambil merem. Itu namanya apa kalau nggak tidur Vik, “ jawabnya sambil menggitgit sebuah sushi.
“Oh. Hah? Iya po? Kayaknya tadi aku cuma merem sambil mikirin sesuatu deh. Aku juga tidak sandaran di kursi kok, “ bantahku kepadanya. Aku masih terus bingung karena aku merasa bahwa aku tidak tertidur lelap.
“Iya. Tadi kamu sandaran gitu terus tidur. Ah, sudahlah. Gak usah dibahas lagi. Males aku. Ujung-ujungnya kamu juga tetep ngeyel gitu, “ ujar Mas Kevin. Raut mukanya mendadak kesal kepadaku. Ia berkata lagi kepadaku sambil menyodorkan sepiring sushi yang rasanya berbeda, “Sudah ayo dimakan Vik. Mumpung masih fresh from the oven.”
“Okelah. Iya aku makan, “ kataku sembari membenarkan rambutku yang sudah sedikit tidak rapi. Lalu aku pun tersadar dan berpikir. Mungkin memang benar apa yang diakatakan Mas Kevin, bahwa aku memang sempat tertidur lelap dalam waktu yang cukup lama karena sekarang kusadari bahwa rambutku sudah sedikit acak-acakan.
“Enak gak Vik?” tanyanya kepadaku. Sekilas aku menyadari bahwa bulu matanya lebih lentik dariku.
Aku pun menjawabnya sambil terus memakan sushi yang ada di atas piringku, “Enak kok. Aku suka. Makasih ya udah ditraktir gini mas.” Aku tersenyum simpul di hadapannya.
Yoi. Sama-sama Vik, “ ujarnya. Rupanya ia sudah selesai makan. Dengan tergesa-gesa, aku segera menyelesaikan jatah makanku karena aku takut ditinggal olehnya dan menjadi anak hilang.
Sesudah kami berdua selesai makan di restoran Sushi Donbouri, kami pun melanjutkan perjalan kami dan kembali ke arah rombongan saudara kami tadi, yaitu di Matahari Department Store. Kami menaiki eskalator untuk sampai ke sana.
“ Hm, ternyata Kota Semarang di malam hari juga masih saja ramai, “ gumamku lirih.
Kami berdua pun terus berjalan dan pada akhirnya kami pun sampai di Matahari.
“Lah, mana Mas? Kok mereka sudah tidak ada?” tanyaku dengan gelisah.
“Woh iya. Mereka ke mana sih? Biasanya kalo asyik belanja aja tuh sampai berjam-jam gak akan terasa, “ wajahnya juga mendadak bingung dan gelisah.
“Ya udah ayo, kita langsung ke basement aja. Mungkin mereka sudah menunggu kita di sana. Kan kuncinya ada di Mas Kevin. Lagian ini juga sudah cukup malam dan mall akan tutup, “ ujarku memberikan solusi seraya berbalik dan berjalan melanjutkan perjalanan menuju basement.
Sesaat setelah kami sampai di basement, kami pun melihat rombongan semua saudara kami. Rupanya mereka semua telah menunggu di sana, di depan mobil Mas Kevin. Namun, saat aku mendekati mereka lebih dekat, rupanya mobil rombongan Mas Dio sudah pulang terlebih dahulu. Aku tahu, mungkin mereka sudah menunggu cukup lama karena memang basement sudah sepi sekali dan hanya tinggal beberapa kendaraan saja yang ada di sana.
Tiba-tiba Mbak Titan langsung angkat bicara, “Dari mana aja sih kalian? Kok lama banget. Aku tuh udah nunggu lama di sini sama yang lainnya. Eh, malah kalian ngilang. Dihubunngi juga tidak bisa.” Wajahnya mendadak menjadi merah seperti udang rebus yang baru matang.
            Mas Kevin pun langung membenarkan semuanya, “Ya maaf. Maaf lho. Tadi soalnya kami makan dulu di Sushi Donbouri jadi agak lama deh. Mana si Vika pakai tidur segala lagi, jadinya ya agak lama gitu deh.” Aku pun langsung merasa bersalah mendengar apa yang diucapkannya.
            “Ya sudahlah nggak papa. Ayo buruan kunci mobilnya mana. Kita gak jadi jalan-jalan malem ke Tugu Muda soalnya ini udah larut malam, “ aku tahu walaupun ia berkata seperti itu, namun hatinya masih terasa jengkel dan kesal.
            Tiba-tiba saat aku hendak angkat bicara, Mbak Fara pun langsung menyahut perkataan Mbak Titan, “Yah, kenapa gak jadi jalan-jalan malam? Kan asyik, bisa sekalian ke Kota Tua Semarang juga.” Wajahnya sedikit kecewa.
            “Ya soalnya udah malam. Memang kamu mau pulang jam berapa?” ujar Mbak Titan.
            “Ya sudah deh. Ayo pulang, “ Mbak Fara pun langsung masuk ke dalam mobil dan duduk paling depan di samping Mbak Titan yang hendak menyupir mobil.
            “Emm, maaf ya, tadi gara-gara aku kita jadi pulang malam gini. Terus gak jadi jalan-jalan malam deh. Maaf ya Mbak, Mas, “ ujarku sambil menundukkan kepala.
            “Iya Vik, udah enggak papa. Yang penting sekarang kita segera pulang biar nanti enggak dimarahin sama Nenek dan orang tua kita, “ ucap Mbak Ema dengan pelan.
            “Okelah. Ngomong-ngomong, Mbak Rahma, Mas Tomi, Mbak Mutia, dan Mbak Shafa itu ikut rombongannya Mas Dio ya?” tanyaku mengganti topik pembicaraan.
            Mbak Fara tiba-tiba langsung menyahut omonganku, “Iya Vik, yang lainnya ikut rombongan kita.” Mukanya berpaling ke arahku.
            “Oh, “ jawabku singkat dan tidak terasa saja bahwa kami sudah hampir sampai di rumah Nenek. Aku pun sangat merasa sangat lega dan bersyukur karena ini belum terlalu larut malam.
            Semenit kamudian, kami pun telah tiba di rumah Nenek. Lalu, kami semua langsung bergegas masuk lewat pintu belakang karena takut dimarahi. Kulangkahkan kakiku untuk terus berjalan menuju kamarku. Mataku terasa sudah sangat kantuk dan lelah. Kulirik jam tanganku dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam lebih lima belas menit. Langsung saja aku berlari ke arah kamarku dan berganti pakaian secepatnya. Setelah itu, cepat-cepat aku merebahkan diriku di atas kasurku yang empuk dan nyaman, serta langsung menutup kedua belah mataku dan berusaha tidur dengan nyenyak. Namun, sepertinya ada sesuatu yang kurang yang belum aku lakukan. Sesuatu yang mengganjal di dalam pikiranku. Hey, tunggu! Aku kan punya misi untuk membuka almari antik di pojok ruangan itu!
***

Jumat, 29 Mei 2015

Kotak Musik Saphira (Bagian 2)



             Malam hari pun tiba dan jam dinding kamarku menunjukkan angka pukul tujuh malam. Namun hingga kini, aku masih belum menemukan suatu cara untuk membuka almari tersebut. Tapi aku yakin bahwa pasti akan kutemukan caranya, entah bagaimanapun itu.
            “Vika! Ayo ikut nggak? Buruan!” tiba-tiba terdengar suara nyaring yang memekakan telingaku dari luar kamar. Rupanya itu adalah suara Mbak Mutia, kakak sepupuku yang keempat dan paling cantik. Aku pun begegas untuk membuka pintu kamar dan keluar dari kamar.
            “Hai Mbak Mutia! Emang mau ada acara apa? Kok buru-buru gini? Mau ke mana?” tanyaku sambil terus berjalan ke arahnya. Malam ini ia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hitam putih, serta celana jeans berwarna biru tua dan sepatu kets berwarna abu-abu yang sangat keren. Ia tampak tampil cantik pada malam ini.
            Hey! Enggak, ini cuma mau ke Paragon Mall. Ikut nggak Vik? Kita berangkat bersama Mbak Rahma, Mas Tomi, Mas Dio, Mas Kevin, Mbak Ema, Mbak Fara, Mbak Shafa, sama Mbak Titan. Ikut nggak Vik? Nanti dibagi jadi dua mobil, “ ujarnya, dan menyebutkan nama semua cucu Nenek dari yang paling tua hingga yang paling muda yang ada. Ia masih tetap menunggu kepastian dariku.
            “Memang mau sampai jam berapa mbak?” tanyaku untuk memastikannya. Kini aku tepat berada di depannya.
            “Sampe jam sepuluhan sih kira-kira. Soalnya nanti kita juga mau ke Tugu Muda ama ke Kawasan Kota Tua Semarang. So, mau ikut gak Vik?” ujar Mbak Mutia.
            Aku pun awalnya sedikit bingung harus menjawab apa, karena aku sudah berjanji bahwa aku harus mencoba membuka almarinya sekitar pada pukul sembilan malam ini. Namun karena menurutku kegiatan ini akan begitu mengasyikkan, jadi ya aku ikut saja.
            “Oke mbak. Aku bisa, sebentar ya aku ganti baju dulu, “ ujarku dengan nada gembira Aku pun lekas pergi menuju kamarku.
            “Oke!” serunya dari kejauhan.
            Malam ini, aku mengenakan kaos lengan panjangku yang berwarna biru tua dengan renda-renda kecil di bagian lengan serta kerahnya. Aku juga mengenakan celana jeansku yang berwarna abu-abu serta sepatu sandalku yang berwarna ungu dan hitam. Rambutku pun hanya kusisir rapi. Dan siap deh! Aku akan keluar dari kamar dan berangkat jalan-jalan bersama semua saudaraku.
            Sesampainya di Paragon Mall, kami semua berjalan-jalan di Matahari Department Store, The Harvest Chocolatier and Patissier, Body Shop, Starbucks Coffee, Planet Surf, dan store-store lainnya. Ternyata sangatlah seru jika kita dapat meluangkan waktu bersama keluarga dan berjalan-jalan bersama.
            “Eh, ke sana yuk Vik!” ajak salah satu dari sembilan saudaraku yang bernama Mas Kevin. Ia adalah orang yang jangkung dan cukup kurus. Tingginya sekitar 185cm.
            “Ya, tapi traktirin ya mas. Hehehe, “ kataku sambil tertawa. Dia mengajakku ke restoran Sushi Donbouri, yang harganya dapat dibiliang lumayan mahal bagi kantong seorang pelajar.
            “Ya deh ya. Tapi besok kamu gantian traktirin aku ya Vik kalau kita jalan-jalan lagi, “ ujarnya sambil mengeluarkan sebuah permen rasa mint dari saku celana jeansnya yang ada dibelakang.
            “Ya deh mas. Kapan-kapan ya. Hehe, “ ujarku sambil bergegas berjalan mengikutinya menuju restoran Sushi Donburi yang  berada di lantai 3. Kami pun langsung pergi berdua saja dan menginggalkan rombongan saudara kami yang sedang asyik berbelanja di Matahari Department Store.
            Saat aku dan Mas Kevin sedang memilih menu, tanpa sengaja, ada sebatas pikiran atau mungkin ingatan yang pernah terlupakan, yang kemudian terlintas begitu saja di dalam pikiranku. Namun ingatan itu muncul dengan begitu cepat dan hanya muncul sekilas saja. Aku pun menjadi bingung dan mencoba mengingatnya kembali.
            “Vika? Kamu kenapa? Kok tiba-tiba serius gitu mukanya, “ Mas Kevin terus berkata dan bertanya kepadaku, namun aku tetap tidak menggubrisnya dan mencoba untuk fokus.
Setelah selesai memesan menu yang aku kehendaki, aku pun memejamkan kedua mataku dan aku pun juga mengernyitkan dahiku. Sesaat kemudian, suasana begitu hening di dalam pikiranku dan aku hanya dapat melihat secerca cahaya saja dari celah mataku yang memang sengaja tidak aku pejamkan secara rapat.
“Vika, vika! Eh, jangan tidur oii!” aku dapat mendengar suara Mas Kevin yang terasa samar-samar dari luar pikiranku, namun aku tetap tidak menggubrisnya dan tetap berkonsentrasi terhadap pikiranku tadi.
***
cerita ini ada 7 bagian alias 7 part, semoga pembaca tidak bosan ya :)
kritik saran ditunggu di komentar bawah
Terimakasih