Minggu, 31 Mei 2015

Kotak Musik Saphira (Bag. 4)




            Plek, plek, plek,“ suara sandal tidurku terus terdengar di lantai keramik rumah Nenek yang luas. Namun tetap saja aku tidak menggubrisnya, walaupun suara itu terdengar keras dan jelas. Aku tetap terus berjalan menuju ke arah almari tua itu. Entah mengapa, sungguh rasa ingin tahuku terus tumbuh di dalam hatiku saat aku berjalan semakin dekat ke arah almari itu. Akhirnya beberapa detik kemudian, aku pun sudah sampai di depan almari usang itu karena memang letak almari itu tidaklah jauh dari kamarku.
            “Untung semua lamu di rumah ini telah dimatikan. Baguslah,” gumamku pelan dengan penuh rasa syukur.
            Aku pun kembali bergumam sambil terus menarik alamari itu ke arah luar, “Duh kok gak bisa sih. Bismillah, bismillah.” Aku tetap berusaha dan bersikukuh untuk harus bisa membuka almari tersebut.
            Perlahan, kulangkahkan kakiku ke arah belakang satu persatu untuk mundur lima langkah dari posisiku yang sekarang ini. Setelah aku mundur lima langkah ke belakang, aku pun mengambil ancang-ancang untuk menendang almari tersebut. Dengan hati yang sudah mantap dan tekadku yang sudah bulat, aku pun langsung berlari ke arah depan dan dengan cepat kutendang almari itu. “Duer, prang, prang, prang!” suara gaduh terdengar dari dalam almari tersebut yang dugaanku itu merupakan suara barang berupa kaca yang pecah.
Sesaat kemudian, aku pun bersorak gembira karena akhirnya almari antik tersebut dapat terbuka lebar, “Alhamdulillah, yes!” sontak pun aku meloncat karena senang. Akhirnya almari itu berhasil terbuka! Tetapi, beberapa saat kemudian, aku langsung tersontak kaget karena benda-benda seperti piring, gelas, dan mangkuk-mangkuk kuno terus berjatuhan dari dalam almari tersebut. Benda itu berhamburan keluar bergitu saja dan mengeluarkan suara kegaduhan yang luar biasa. Aku pun segera menjauh dari tempat tersebut namun aku masih tetap mengamatinya dari kejauhan.
            Prank, prank, prank, duer, ptar!” suara pecahan benda-benda itu terus terdengar dan tak ada hentinya. Walau sudah aku coba untuk menahannya agar tidak keluar berhamburan, tetapi tetap saja karena tendanganku yang lumayan keras, akhirnya almari itu mengeluarkan semua benda yang ada di dalamnya. Aku bertambah panik ketika almari itu sedikit berderak-derak. “Matilah, “ pikirku.
            “Ah, suara apa sih itu berisik sekali! Ganggu aja!” aku mendengar suara teriakan dari arah luar ruang keluarga. Dan aku rasa suara itu berasal dari lantai dua rumah Nenek. Jantungku semakin berdegup kencang.
            “Aduh bagaimana ini?” pikirku dalam hati.
            Beberapa detik kemudian, benda-benda tersebut sudah berhenti berhamburan keluar dari dalam almari. Aku pun merasa lega seklaigus ketakutan karena banyaknya puing-puing kaca pring, gelas, mangkuk dan benda-benda kuno lainnya yang terbuat dari besi yang berserakan di atas lantai depan almari tersebut. Segera saja aku bergegas untuk pergi meninggalkan ruang keluarga tersebut dan berlari menuju kamarku untuk mengambil serok, sapu, dan tas kresek.
            Aku berlari dengan kencangnya dan segera mengambil semua benda tersebut di dalam  kamarku. Lalu aku pun segera kembali ke pojok ruang keluarga untuk membereskan semua benda yang terjatuh dari almari tersebut. Hingga pada pengujung jalan untuk sampai ke ruang keluarga, aku sudah melihat beberapa saudaraku, ibuku, dan Nenekku berada di sana dan mengelilingi almari itu serta berada di antara serpihan-serpihan benda kuno yang terbuat dari kaca tersebut. Segera saja aku berjalan pelan-pelan menuju kamarku agar mereka semua tidak menuduhku dan merasa aneh padaku.
            Setelah sampai di kamarku yang tenang dan nyaman. Aku pun meletakkan semua benda yang akan aku gunakan untuk membereskan pecahan piring, gelas, mangkuk, dan benda-benda kuno lainnya tadi, dan aku pun perlahan berjalan ke luar kamar menuju ruang keluarga dengan berpura-pura tidak mengethaui apa-apa. Rambutku kubuat menjadi acak-acakan dan aku akan berpura-pura akting seperti orang yang baru saja bangun dari tidurnya.
            Aku berjalan perlahan dan setelah sampai di ruang keluarga, semuanya langsung menoleh ke arahku dengan pandangan heran dan marah. Jantungku pun mulai berdegup kencang dan aku pun mulai bekeringat dingin karena takut ketahuan. Akan tetapi aku terus berusaha untuk mengabaikan rasa takut itu dan tetap fokus untuk berakting.
            “Kamu tuh dari mana saja sih Vik? Masa ada suara gaduh banget begini kamu baru bangun? Memangnya kamu ngantuk banget atau gimana?” Mbak Fara memandangku dengan pandangan tajam dan ia bertolak pinggang.
            Belum saja aku semoat angkat bicara, Mas Dio langsung menyahut ucapan Mbak Fara, “Iya Vik. Kamu ini gak denger atau memang pura-pura gak denger atau gimana ya? Ini keras banget lho. Tuh lihat Vik, lantainya aja sampai penuh pecahan beling begitu.” Ia memandangku dengan pandangan marah dan wajahnya mendadak semakin merah.
            Aku pun langsung angkat bicara dan menundukkan kepalaku seperti layaknya orang yang bersalah, “Ya maaf ya semua, soalnya aku ngantuk banget. Jadi ya, aku telat deh kebangunnya, terus jadi telat ke sininya. Maaf kalau aku lama banget bangunnya.”
            “Maaf sekali. Atau memang perlu kubereskan semua ini? Kalau perlu, akan Vika bereskan sekarang juga,” ujarku sembari membenarkan rambutku yang lumayan acak-acakan.
            “Sebentar deh, aku mau tanya. Emang kamu beneran gak tau apa-apa Vik tentang kejadian mengerikan ini? Kalau setahu aku biasanya kamu yang suka bangun malam-malam gitu. Yeah, walau hanya sekedar buat ke kamar mandi atau apalah, tapi kamu yang paling sering bangun malam. Terus diantara kita ini udah pada ngaku kalau gak ada yang coba buka-buka almari ini, soalnya almari ini dikunci. Nah, kamu tadi coba buka-buka gak sebelum kita semua datang ke sini?” Mbak Shafa menanyaiku dengan cermat seakan-akan aku adalah seorang tersangka.
            “Hah? Enggak kok. Aku gak coba-coba buka almarinya. Memangnya aku bisa coba buka almari ini?” aku berusaha untuk mengelak.
            “Sudahlah Vik ngaku aja. Kamu kan yang datang paling telat, jadi ya mungkin saja kamu yang membuat semua kegaduhan ini, “ ujar Mas Tomi. Mas Tomi pun melanjutkan perkataannya, “Kamu mungkin bisa aja buka alamri ini dengan paksa, ya mungkin kamu tendang atau kamu lempar apa gitu?”
            “Kok pada nyalahin aku sih?” aku pun tetap mengelak dan bernada sedikit marah.
            “Ya iyalah, orang kamu yang datang paling telat. Terus kamu juga agak aneh gitu sih gerak-geriknya. Kalau bukan kamu, terus siapa?” Mbak Shafa juga terus menyalahkanku. Ya, walau dalam hati aku berpikir bahwa itu benar.
            “Sudahlah sudah, jangan saling menyalahkan. Mending kalau kalian menduga kalau itu Vika, suruhlah agar dia membereskan semua ini saja dan menutup almarinya kembali saja. Jangan malah dimarahin begitu. Walau kalian marahin dia, tetapi kalau terus begini terus cuma marah-marah doang isinya, ya kapan selesainya?” ujar Mbak Mutia. Rupanya idenya lumayan cerdik juga.
            “Ya sudah, benar apa kata Mutia. Sekarang kita tidur lagi saja. Sepertinya memang dia pelakunya dan haruslah ia juga yang bertanggung jawab. Benar kan Vika?” Ibu memandangiku penuh makna dan arti. Seolah Ibu menyuruhku untuk mengakui bahwa akulah pelakunya. Namun aku hanya terdiam seribu bahasa saja ketika Ibu berkata seperti itu.
            “Baiklah Vik, kita semua mau tidur lagi. Kamu cepetan bersihin ya, bahaya nih,” ujar Mbak Titan yang sudah tidak naik darah lagi.
            “Baiklah, “ aku sudah menyerah dengan semua aktingku. Pikirku, mungkin semua aktingku memang tidak akan mempan untuk melawan mereka semua yang sudah lebih berpenglaman.
            Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kamar untuk mengambil serok dan sapu lantai yang akan aku gunakan untuk membersihkan semua pecahan barang kuno tadi. Kemudian aku berjalan pelan menuju ke arah pojok ruang keluarga tadi, dimana di sana ada sebuah almari tua yang sangat membuatku penasaran.
            Tiba-tiba, saat aku sedang membersihkan semua pecahan barang kuno tersebut dan menyapunya dengan teliti dan sangat berhati-hati, aku menemukan sebuah kotak musik yang teramat sangat indah dengan warna biru dan beberapa motif bunga disekelilingnya. Walaupun kotak musik itu sedikit berdebu, namun aku tetap tertarik padanya. Bentuknya yang lucu serta patung balerina yang bisa menari di atasnya, membuatku sangat tertarik padanya.
            “Ah, aku harus cepat-cepat beresin semua ini nih,” guamamku pelan karena aku sudah tidak sabar lagi ingin memainkan kotak musik tersebut.
            Krek, klotak, klotak, prank,” suara pecahan gelas, piring, mangkuk, serta benda-benda kuno yang terbuat dari kaca tadi berjatuhan sedikit demi sedikit ke dalam tempat sampah di ruang keluarga yang kini sepi ini. Setelah itu, langsung cepat-cepat aku mancari kunci dari kotak musik tersebut.
            Beberapa menit kemudian, aku menemukan kunci kotak musik yang cantik yang kini berada di genggamanku ini berada di bawah almari antik tersebut. Langsung saja tanpa berpikir panjang kujulurkan tanganku ke arah kolong almari yang gelap untuk mengambilnya. Namun, ketika aku akan mengambilnya ada seseorang juga yang sepertinya menarik kunci kotak musik tersebut. Tiba-tiba kulihat tangan putih pucat dengan jemari yang panjang menjulur keuar dan sepertinya menjadi lebih kuat untuk menarik kunci tersebut. Sontak aku sangat kaget dan dengan cepat langsung kutarik kunci kotak musik tersebut dan berhasil. Sesaat aku merasa gembira dan langsung berlari tanpa menoleh ke belakang kembali. Ku masuk ke dalam kamarku yang kurasa aman dan segera ku kunci pintu kamarku rapat-rapat.
            Huft, pft, hahhh,” nafasku terengah-engah bagaikan telah berlari sangat jauh dan cepat. Aku masih merasa merinding dengan kejadian di ruang keluarga tadi. Akan tetapi, kucoba untuk melupakannya.
            Aku bergumam dengan nafasku yang masih terengah-engah, “Untung saja aku berhasil menarik kunci ini dari orang yang juga ingin mengambilnya itu.” Aku memasukkan kunci dengan gantungan yang terbuat dari seutas benang tersebut ke dalam lubang kunci yang ada di kotak musik tersebut. Sedetik kemudian, aku dapat melihat balerina yang cantik sedang menari di atasnya dan berputar-putar. “Sungguh indah sekali, “ pikirku.
            Kutenangkan batinku sejenak dan kulirik jam dinding yang berada di pojok kanan atas kamarku yang berbentuk persegi panjang. Ternyata jam dinding sudah menunjukkan tepat pukul dua pagi. Segera saja aku langsung menarik kunci itu dari kotak musik yang aku temuakan, merebahkan diriku di atas ranjang tidurku yang empuk, dan menarik selimutku ke atas rapat-rapat. Dalam hati aku senang dan terhibur karena kotak musik indah yang aku temukan. Namun di sisi lain, aku masih terus teringat dan terbayang-bayang oleh jemari panjang yang juga berusaha merebut kunci kotak musik tersebut dariku. Walau telah kucoba untuk tidak memikirkannya dan melupakannya, namun tetap saja aku susah untuk melupakannya.
***

Tidak ada komentar :

Posting Komentar