Sabtu, 30 Mei 2015

Kotak Musik Saphira (Bagian 3)



Perlahan, aku mendengar ada suara seorang gadis kecil yang memanggil namaku dari kejauhan. Suara itu terdengar samar-samar, sangat lirih, dan juga lembut. “Vika, “ panggilnya. Namun aku hanya diam saja di kursi goyang yang biasa Nenek gunakan untuk bersantai, sambil terus memutar kunci sebuah kotak musik baru yang sangat bagus dan cantik yang berwarna biru muda dengan beberapa motif bunga di sekelilingnya.
Namun aku mendengar suara yang lainnya dikemudian waktu, “Vika! Jangan mainkan itu!” teriak seseorang yang berlari dari arah belakangku dengan wajah panik dan cemas. Seseorang itu berseru lagi padaku sambil terus berlari dengan kencang, “Vika! Stop Vika!” sepertinya itu adalah suara seorang gadis remaja.
Walaupun ia terus berseru padaku dengan wajah cemas yang mendalam, akan tetapi tetap saja aku terus memainkan kotak musik tersebut sambil terus mendengarkan sebuah irama yang keluar dari dalamnya. Entah mengapa, aku menyuakinya.
 “Vika kemarilah. Ayo kita bermain bersama!” suara samar-samar itu terdengar kembali, namun jauh lebih keras. “Vika, “ panggil suara gadis kecil itu kembali. Sekarang aku dapat mendengar suaranya dengan jelas. Suaranya berasal dari atas loteng rumah nenek.
 “Vika! Berhenti mainkan itu!” teriak suara seorang gadis remaja yang kemudian menggendongku dan membawaku keluar dari dalam kamar yang aku tinggali untuk tidur pada saat itu. Kamar yang sama yang sekarang aku gunakan untuk tidur pada saat berlibur. Padahal kotak musik itu masih ada di genggamanku.
Sesaat kemudian, tiba-tiba, dengan perlahan aku bisa mendengar suara lirih yang kurasa munculnya dari alam yang lain. Sedikit demi sedikit suara itu terdengar semakin keras dan keras, juga nyaring.
“Vikaaa! Jangan tidur oii!” teriak suara yang sesaat terdengar lebih keras dan keras dari alam luar pikiranku. Aku pun tersentak kaget dan membuka kedua belah mataku. Jantungku langsung berdegup sangat kencang. Aku langsung mengusap-usap mataku dengan tangan kananku karena semuanya masih terlihat samar-samar.
“Kamu tadi ngapain sih? Pake tidur segala?” tanya Mas Kevin kepadaku.
“Hah? Memangnya aku tidur ya mas?” aku bertanya balik dengan bingung.
“Iya. Kan tadi kamu sandaran di kursi sambil merem. Itu namanya apa kalau nggak tidur Vik, “ jawabnya sambil menggitgit sebuah sushi.
“Oh. Hah? Iya po? Kayaknya tadi aku cuma merem sambil mikirin sesuatu deh. Aku juga tidak sandaran di kursi kok, “ bantahku kepadanya. Aku masih terus bingung karena aku merasa bahwa aku tidak tertidur lelap.
“Iya. Tadi kamu sandaran gitu terus tidur. Ah, sudahlah. Gak usah dibahas lagi. Males aku. Ujung-ujungnya kamu juga tetep ngeyel gitu, “ ujar Mas Kevin. Raut mukanya mendadak kesal kepadaku. Ia berkata lagi kepadaku sambil menyodorkan sepiring sushi yang rasanya berbeda, “Sudah ayo dimakan Vik. Mumpung masih fresh from the oven.”
“Okelah. Iya aku makan, “ kataku sembari membenarkan rambutku yang sudah sedikit tidak rapi. Lalu aku pun tersadar dan berpikir. Mungkin memang benar apa yang diakatakan Mas Kevin, bahwa aku memang sempat tertidur lelap dalam waktu yang cukup lama karena sekarang kusadari bahwa rambutku sudah sedikit acak-acakan.
“Enak gak Vik?” tanyanya kepadaku. Sekilas aku menyadari bahwa bulu matanya lebih lentik dariku.
Aku pun menjawabnya sambil terus memakan sushi yang ada di atas piringku, “Enak kok. Aku suka. Makasih ya udah ditraktir gini mas.” Aku tersenyum simpul di hadapannya.
Yoi. Sama-sama Vik, “ ujarnya. Rupanya ia sudah selesai makan. Dengan tergesa-gesa, aku segera menyelesaikan jatah makanku karena aku takut ditinggal olehnya dan menjadi anak hilang.
Sesudah kami berdua selesai makan di restoran Sushi Donbouri, kami pun melanjutkan perjalan kami dan kembali ke arah rombongan saudara kami tadi, yaitu di Matahari Department Store. Kami menaiki eskalator untuk sampai ke sana.
“ Hm, ternyata Kota Semarang di malam hari juga masih saja ramai, “ gumamku lirih.
Kami berdua pun terus berjalan dan pada akhirnya kami pun sampai di Matahari.
“Lah, mana Mas? Kok mereka sudah tidak ada?” tanyaku dengan gelisah.
“Woh iya. Mereka ke mana sih? Biasanya kalo asyik belanja aja tuh sampai berjam-jam gak akan terasa, “ wajahnya juga mendadak bingung dan gelisah.
“Ya udah ayo, kita langsung ke basement aja. Mungkin mereka sudah menunggu kita di sana. Kan kuncinya ada di Mas Kevin. Lagian ini juga sudah cukup malam dan mall akan tutup, “ ujarku memberikan solusi seraya berbalik dan berjalan melanjutkan perjalanan menuju basement.
Sesaat setelah kami sampai di basement, kami pun melihat rombongan semua saudara kami. Rupanya mereka semua telah menunggu di sana, di depan mobil Mas Kevin. Namun, saat aku mendekati mereka lebih dekat, rupanya mobil rombongan Mas Dio sudah pulang terlebih dahulu. Aku tahu, mungkin mereka sudah menunggu cukup lama karena memang basement sudah sepi sekali dan hanya tinggal beberapa kendaraan saja yang ada di sana.
Tiba-tiba Mbak Titan langsung angkat bicara, “Dari mana aja sih kalian? Kok lama banget. Aku tuh udah nunggu lama di sini sama yang lainnya. Eh, malah kalian ngilang. Dihubunngi juga tidak bisa.” Wajahnya mendadak menjadi merah seperti udang rebus yang baru matang.
            Mas Kevin pun langung membenarkan semuanya, “Ya maaf. Maaf lho. Tadi soalnya kami makan dulu di Sushi Donbouri jadi agak lama deh. Mana si Vika pakai tidur segala lagi, jadinya ya agak lama gitu deh.” Aku pun langsung merasa bersalah mendengar apa yang diucapkannya.
            “Ya sudahlah nggak papa. Ayo buruan kunci mobilnya mana. Kita gak jadi jalan-jalan malem ke Tugu Muda soalnya ini udah larut malam, “ aku tahu walaupun ia berkata seperti itu, namun hatinya masih terasa jengkel dan kesal.
            Tiba-tiba saat aku hendak angkat bicara, Mbak Fara pun langsung menyahut perkataan Mbak Titan, “Yah, kenapa gak jadi jalan-jalan malam? Kan asyik, bisa sekalian ke Kota Tua Semarang juga.” Wajahnya sedikit kecewa.
            “Ya soalnya udah malam. Memang kamu mau pulang jam berapa?” ujar Mbak Titan.
            “Ya sudah deh. Ayo pulang, “ Mbak Fara pun langsung masuk ke dalam mobil dan duduk paling depan di samping Mbak Titan yang hendak menyupir mobil.
            “Emm, maaf ya, tadi gara-gara aku kita jadi pulang malam gini. Terus gak jadi jalan-jalan malam deh. Maaf ya Mbak, Mas, “ ujarku sambil menundukkan kepala.
            “Iya Vik, udah enggak papa. Yang penting sekarang kita segera pulang biar nanti enggak dimarahin sama Nenek dan orang tua kita, “ ucap Mbak Ema dengan pelan.
            “Okelah. Ngomong-ngomong, Mbak Rahma, Mas Tomi, Mbak Mutia, dan Mbak Shafa itu ikut rombongannya Mas Dio ya?” tanyaku mengganti topik pembicaraan.
            Mbak Fara tiba-tiba langsung menyahut omonganku, “Iya Vik, yang lainnya ikut rombongan kita.” Mukanya berpaling ke arahku.
            “Oh, “ jawabku singkat dan tidak terasa saja bahwa kami sudah hampir sampai di rumah Nenek. Aku pun sangat merasa sangat lega dan bersyukur karena ini belum terlalu larut malam.
            Semenit kamudian, kami pun telah tiba di rumah Nenek. Lalu, kami semua langsung bergegas masuk lewat pintu belakang karena takut dimarahi. Kulangkahkan kakiku untuk terus berjalan menuju kamarku. Mataku terasa sudah sangat kantuk dan lelah. Kulirik jam tanganku dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam lebih lima belas menit. Langsung saja aku berlari ke arah kamarku dan berganti pakaian secepatnya. Setelah itu, cepat-cepat aku merebahkan diriku di atas kasurku yang empuk dan nyaman, serta langsung menutup kedua belah mataku dan berusaha tidur dengan nyenyak. Namun, sepertinya ada sesuatu yang kurang yang belum aku lakukan. Sesuatu yang mengganjal di dalam pikiranku. Hey, tunggu! Aku kan punya misi untuk membuka almari antik di pojok ruangan itu!
***

Tidak ada komentar :

Posting Komentar