Perlahan, aku mendengar ada suara
seorang gadis kecil yang memanggil namaku dari kejauhan. Suara itu terdengar
samar-samar, sangat lirih, dan juga lembut. “Vika, “ panggilnya. Namun aku
hanya diam saja di kursi goyang yang biasa Nenek gunakan untuk bersantai,
sambil terus memutar kunci sebuah kotak musik baru yang sangat bagus dan cantik
yang berwarna biru muda dengan beberapa motif bunga di sekelilingnya.
Namun aku mendengar suara yang
lainnya dikemudian waktu, “Vika! Jangan mainkan itu!” teriak seseorang yang
berlari dari arah belakangku dengan wajah panik dan cemas. Seseorang itu
berseru lagi padaku sambil terus berlari dengan kencang, “Vika! Stop Vika!”
sepertinya itu adalah suara seorang gadis remaja.
Walaupun ia terus berseru padaku
dengan wajah cemas yang mendalam, akan tetapi tetap saja aku terus memainkan
kotak musik tersebut sambil terus mendengarkan sebuah irama yang keluar dari
dalamnya. Entah mengapa, aku menyuakinya.
“Vika kemarilah. Ayo kita bermain bersama!”
suara samar-samar itu terdengar kembali, namun jauh lebih keras. “Vika, “
panggil suara gadis kecil itu kembali. Sekarang aku dapat mendengar suaranya
dengan jelas. Suaranya berasal dari atas loteng rumah nenek.
“Vika! Berhenti mainkan itu!” teriak suara
seorang gadis remaja yang kemudian menggendongku dan membawaku keluar dari
dalam kamar yang aku tinggali untuk tidur pada saat itu. Kamar yang sama yang
sekarang aku gunakan untuk tidur pada saat berlibur. Padahal kotak musik itu
masih ada di genggamanku.
Sesaat kemudian, tiba-tiba, dengan
perlahan aku bisa mendengar suara lirih yang kurasa munculnya dari alam yang
lain. Sedikit demi sedikit suara itu terdengar semakin keras dan keras, juga
nyaring.
“Vikaaa! Jangan tidur oii!” teriak suara yang sesaat
terdengar lebih keras dan keras dari alam luar pikiranku. Aku pun tersentak kaget
dan membuka kedua belah mataku. Jantungku langsung berdegup sangat kencang. Aku
langsung mengusap-usap mataku dengan tangan kananku karena semuanya masih
terlihat samar-samar.
“Kamu tadi ngapain sih? Pake tidur segala?” tanya Mas Kevin kepadaku.
“Hah? Memangnya aku tidur ya mas?”
aku bertanya balik dengan bingung.
“Iya. Kan tadi kamu sandaran di kursi
sambil merem. Itu namanya apa kalau nggak tidur Vik, “ jawabnya sambil
menggitgit sebuah sushi.
“Oh. Hah? Iya po? Kayaknya tadi aku cuma
merem sambil mikirin sesuatu deh. Aku juga tidak sandaran di kursi kok, “
bantahku kepadanya. Aku masih terus bingung karena aku merasa bahwa aku tidak
tertidur lelap.
“Iya. Tadi kamu sandaran gitu terus
tidur. Ah, sudahlah. Gak usah dibahas lagi. Males aku. Ujung-ujungnya kamu juga
tetep ngeyel gitu, “ ujar Mas Kevin. Raut mukanya mendadak kesal kepadaku. Ia
berkata lagi kepadaku sambil menyodorkan sepiring sushi yang rasanya berbeda, “Sudah
ayo dimakan Vik. Mumpung masih fresh from
the oven.”
“Okelah. Iya aku makan, “ kataku
sembari membenarkan rambutku yang sudah sedikit tidak rapi. Lalu aku pun
tersadar dan berpikir. Mungkin memang benar apa yang diakatakan Mas Kevin,
bahwa aku memang sempat tertidur lelap dalam waktu yang cukup lama karena sekarang
kusadari bahwa rambutku sudah sedikit acak-acakan.
“Enak gak Vik?” tanyanya kepadaku.
Sekilas aku menyadari bahwa bulu matanya lebih lentik dariku.
Aku pun menjawabnya sambil terus
memakan sushi yang ada di atas piringku, “Enak kok. Aku suka. Makasih ya udah
ditraktir gini mas.” Aku tersenyum simpul di hadapannya.
“Yoi.
Sama-sama Vik, “ ujarnya. Rupanya ia sudah selesai makan. Dengan tergesa-gesa,
aku segera menyelesaikan jatah makanku karena aku takut ditinggal olehnya dan
menjadi anak hilang.
Sesudah kami berdua selesai makan di
restoran Sushi Donbouri, kami pun melanjutkan perjalan kami dan kembali ke arah
rombongan saudara kami tadi, yaitu di Matahari Department Store. Kami menaiki
eskalator untuk sampai ke sana.
“ Hm, ternyata Kota Semarang di malam
hari juga masih saja ramai, “ gumamku lirih.
Kami berdua pun terus berjalan dan
pada akhirnya kami pun sampai di Matahari.
“Lah, mana Mas? Kok mereka sudah
tidak ada?” tanyaku dengan gelisah.
“Woh iya. Mereka ke mana sih?
Biasanya kalo asyik belanja aja tuh sampai berjam-jam gak akan terasa, “
wajahnya juga mendadak bingung dan gelisah.
“Ya udah ayo, kita langsung ke basement aja. Mungkin mereka sudah menunggu
kita di sana. Kan kuncinya ada di Mas Kevin. Lagian ini juga sudah cukup malam
dan mall akan tutup, “ ujarku memberikan solusi seraya berbalik dan berjalan
melanjutkan perjalanan menuju basement.
Sesaat setelah kami sampai di
basement, kami pun melihat rombongan semua saudara kami. Rupanya mereka semua
telah menunggu di sana, di depan mobil Mas Kevin. Namun, saat aku mendekati
mereka lebih dekat, rupanya mobil rombongan Mas Dio sudah pulang terlebih
dahulu. Aku tahu, mungkin mereka sudah menunggu cukup lama karena memang
basement sudah sepi sekali dan hanya tinggal beberapa kendaraan saja yang ada
di sana.
Tiba-tiba Mbak Titan langsung angkat
bicara, “Dari mana aja sih kalian? Kok lama banget. Aku tuh udah nunggu lama di
sini sama yang lainnya. Eh, malah kalian ngilang. Dihubunngi juga tidak bisa.”
Wajahnya mendadak menjadi merah seperti udang rebus yang baru matang.
Mas
Kevin pun langung membenarkan semuanya, “Ya maaf. Maaf lho. Tadi soalnya kami
makan dulu di Sushi Donbouri jadi agak lama deh.
Mana si Vika pakai tidur segala lagi, jadinya ya agak lama gitu deh.” Aku pun
langsung merasa bersalah mendengar apa yang diucapkannya.
“Ya
sudahlah nggak papa. Ayo buruan kunci mobilnya mana. Kita gak jadi jalan-jalan
malem ke Tugu Muda soalnya ini udah larut malam, “ aku tahu walaupun ia berkata
seperti itu, namun hatinya masih terasa jengkel dan kesal.
Tiba-tiba
saat aku hendak angkat bicara, Mbak Fara pun langsung menyahut perkataan Mbak
Titan, “Yah, kenapa gak jadi jalan-jalan malam? Kan asyik, bisa sekalian ke
Kota Tua Semarang juga.” Wajahnya sedikit kecewa.
“Ya
soalnya udah malam. Memang kamu mau pulang jam berapa?” ujar Mbak Titan.
“Ya
sudah deh. Ayo pulang, “ Mbak Fara pun langsung masuk ke dalam mobil dan duduk
paling depan di samping Mbak Titan yang hendak menyupir mobil.
“Emm,
maaf ya, tadi gara-gara aku kita jadi pulang malam gini. Terus gak jadi
jalan-jalan malam deh. Maaf ya Mbak,
Mas, “ ujarku sambil menundukkan kepala.
“Iya
Vik, udah enggak papa. Yang penting sekarang kita segera pulang biar nanti
enggak dimarahin sama Nenek dan orang tua kita, “ ucap Mbak Ema dengan pelan.
“Okelah.
Ngomong-ngomong, Mbak Rahma, Mas Tomi, Mbak Mutia, dan Mbak Shafa itu ikut
rombongannya Mas Dio ya?” tanyaku mengganti topik pembicaraan.
Mbak
Fara tiba-tiba langsung menyahut omonganku, “Iya Vik, yang lainnya ikut
rombongan kita.” Mukanya berpaling ke arahku.
“Oh,
“ jawabku singkat dan tidak terasa saja bahwa kami sudah hampir sampai di rumah
Nenek. Aku pun sangat merasa sangat lega dan bersyukur karena ini belum terlalu
larut malam.
Semenit
kamudian, kami pun telah tiba di rumah Nenek. Lalu, kami semua langsung
bergegas masuk lewat pintu belakang karena takut dimarahi. Kulangkahkan kakiku
untuk terus berjalan menuju kamarku. Mataku terasa sudah sangat kantuk dan
lelah. Kulirik jam tanganku dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul setengah
sebelas malam lebih lima belas menit. Langsung saja aku berlari ke arah kamarku
dan berganti pakaian secepatnya. Setelah itu, cepat-cepat aku merebahkan diriku
di atas kasurku yang empuk dan nyaman, serta langsung menutup kedua belah
mataku dan berusaha tidur dengan nyenyak. Namun, sepertinya ada sesuatu yang
kurang yang belum aku lakukan. Sesuatu yang mengganjal di dalam pikiranku. Hey,
tunggu! Aku kan punya misi untuk membuka almari antik di pojok ruangan itu!
***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar