Rabu, 01 Juli 2015

Big Trouble #2



              Ketika malam selanjutnya tiba, nenek memanggilku dari balik pintu kamar yang aku tempati saat itu. Suaranya terdengar sangat parau. Maka, segeralah aku keluar dari kamarku itu. Walau aku merasa sangat sebal dengan nenek yang tidak merawat rumah ini dengan baik, tapi bagaimana pun juga, dia itu tetap nenekku.  Jadi ya, aku harus membantunya.
            “Bella, keluarlah! Ehm. Nenek sangat membutuhkanmu!” serunya dengan suara parau dari balik pintu kamarku.
            “Oke, Nek! Aku akan segera keluar dan membantumu!” sahutku sambil melangkah menuju pintu kamar yang telah rapuh dimakan usia itu.
            “Ada apa Nek? Ada tugas untukku?” tanyaku setelah berada tepat di depannya.
            “Oh, ya, tentu saja! Tugasmu sangatlah mudah. Ehm. Kau hanya harus mencari kelinci Nenek yang hilang di padang rumput di seberang rawa kering itu. Tadi ia pergi ke sana. Ini, sebatang lilin menyala untukmu. Ehm, ehm, uhuk. Ya, kau tahu kan Bella, agar tidak gelap ketika kau mencarinya. Oke, silahkan dikerjakan. Mudah kok. Ehm, nanti kalau sudah ketemu, tolong masukkan ke dalam kandangnya ya,” pinta nenek dengan jelas, walaupun suaranya bertambah parau.
            “Ap, ap, apa? Sendirian di padang rumput yang gelap itu?” tanyaku tergagap-gagap karena aku sangat kaget oleh tugas itu. Sungguh aneh bagiku. Dan tiba-tiba aku teringat oleh mimpiku kemarin malam yang sangat menyeramkan. Tapi aku sudah tidak merisaukanya lagi. Aku berusaha untuk itu.
            “Ya, betul sekali. Hanya kau seorang, ehm. Tidak mungkin Nenek ikut denganmu dengan kondisi seperti ini kan? Tua, rapuh, dan sedang batuk berat. Bella, kau mau kan? Terima kasih ya,” nenekku berjalan pelan, dan pergi meninggalkanku.
            “Tunggu Nek!” panggilku dari belakang.
            “Ada apa Bella? Eemm. Ada yang mau kau tanyakan ya?” tanya nenekku sambil memegang tongkat penyangga tubuhnya dengan erat sekali.
            “Tentu saja Nek. Um, siapakah nama kelinci Nenek itu? Dan, biasanya dipanggil dengan sebutan apa? Yeah, agar aku lebih mudah mencarinya saja, sih,” ujarku.
            “Namanya Lizzy. Biasanya juga dipanggil dengan sebutan Lizzy. Ehm. Hanya satu kok kelinci Nenek. Oleh karena itu, Nenek sangat menyayanginya. Tolong ya Bella. Ehm. Terima kasih Bella cucuku yang tersayang Ehm, ehm,” ujar neneku sambil kembali melangkah pelan dan meninggalkanku di depan pintu kamarku itu. Ia kembali menengok ke arahku dengan pandangan penuh harap. Hatiku jadi tersentuh dan iba padanya.
            “Wah, aku harus bawa apa saja ya selain lilin ini?” aku bergumam, dan bertanya-tanya sendiri pada diriku ini. Segera saja aku kembali ke kamar, dan mengambil semua barang yang aku butuhkan. Aku pun dengan cepat mengambil handphone, earphone, jam tangan, gunting tanaman, peluit, topi, sweeter, dan botol insektisida kecil. Handphone, earphone, sweeter, topi dan jam tangan itu segera kupakai dan kupasang rapi. Sementara barang-barang lainnya segera kumasukkan ke dalam tas ranselku yang berwarna merah. Aku membawa insektisida hanya untuk berjaga-jaga, jika ada kerumunan serangga rawa yang menyerangku.
Dengan sangat tergesa-gesa, aku segera menyusuri koridor-koridor gelap di  rumah nenekku, menuruni tangga karena kamarku terletak di lantai dua, dan berangkat menuju padang rumput di seberang rawa yang kering dan sedikit menyeramkan itu. Ya, sungguh! Tak begitu menyeramkan. Hanya sedikit saja. Sungguh! Tapi..., aku tak tahu. Mungkin akan menyeramkan. Um..., atau mungkin juga tidak juga.
Saat aku sudah seperempat jalan sampai di luar rumah nenek, aku tiba-tiba teringat oleh lampu dan televisiku yang belum sempat aku matikan. Aduh menyebalkan sekali! Aku memang sungguh ceroboh! Aku hanya bisa berharap nenek akan mematikanya.
            Ternyata ketika aku sampai di sana, di padang rumput yang gelap dan terasa kering itu, aku merasa sangat ketakutan. Tebakanku sedikit meleset. Di sini sangatlah gelap, sunyi, dan sangat sepi. Aku terus bernyanyi tanpa henti untuk menenangkan diriku yang terus ketakutan dan bergidik ngeri terhadap suasana di sekitar padang rumput itu. Karena biasanya dengan bernyanyi lagu pop, melow, atau genre apapun, aku bisa sedikit tenang.
            “I can’t forget you when your gone, your like a song, that’s gone around in my head. And how i regret? It’s been so long, oh what went wrong, could it be something i said,” aku menyanyikan lagu karya Lenka yang berjudul Like a Song.
“Lizzy! Lizzy! Lizzy! Lizzy! Kemari! Aku Bella, kemarilah!” seruku dengan suara agak bergetar karena sangat ketakutan.
Sedetik kemudian, bulu romanku berdiri dengan tegak dan sangat tajam seperti duri. Dan sedetik kemudian, udara berhembus dengan kencannya sampai bunyinya terdengar di telingaku dengan sangat jelas. Aku menjadi semakin takut dan merinding. Seketika itu juga, aku baru menyadari satu kelemahanku. Ya, aku lupa membawa senter dan korek apiku. Padahal sekarang ini, cahaya di lilinku sudah mati tertiup angin yang berhembus dengan kencangnya. Aku pun sekarang berusaha menerangi jalanan yang gelap hanya dengan cahaya handphoneku. Lumayan juga, walau terlihat sedikit remang-remang.
“Lizzy! Prittt! Prittt! Lizzy!” seruku sambil sesekali meniup peluit. Tidak beberapa lama kemudian, ada suara langkah kaki yang datang ke arahku dari belakang. Suaraku berdebam dengan kerasnya. Tapi, aku tidak akan pernah yakin seumur hidup jika itu adalah suara langkah kaki kelinci. Langkahku terhenti. Dengan perasaan gelisah, takut, dan sebal, aku hanya melirik ke belakang saja, dengan sedikit memalingkan mukaku. Tapi tetap saja, aku tidak bisa melihat apapun karena cahaya handphoneku ku arahkan ke arah bawah.
Namun apa yang terjadi?

 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar