Selasa, 02 Juni 2015

Kotak Musik Saphira (Bagian 6)



            Perlahan kubuka mataku dan kulihat secerca cahaya yang berwarna putih terang. Kubuka mataku perlahan, sedikit demi sedikit dan kedua mataku pun terbuka lebar-lebar. Di sana kulihat ada Ibu, Mbak Rahma, Mbak Mutia, Mas Tomi, Mas Dio, Mas Kevin, Mbak Ema, Mbak Fara, Mbak Shafa, dan Mbak Titan. Mereka semua melihatku dengan pandangan cemas. Aku bingung dan lupa dengan apa yang telah terjadi padaku.
            “Gimana Vik sudah baikan? Sakit gak?” aku pun heran saat Mbak Rahma bertanya seperti itu. Aku pun bangun dari ranjangku, namun kurasakan kepalaku masih pusing dan sakit. Sesaat aku baru terdasar bahwa aku berada di rumah sakit.
            “Aduh,” aku bersandar pada bantal yang ada di ranjang kamar rumah sakit. “Em, iya sih Mbak masih sakit. Tapi gak papa kok. Kapan aku bisa pulang? Aku ingin segera pulang nih,” sambungku seraya turun dari ranjang tidurku dan mencari kotak musikku. Infusku yang masih menggantung di tempatnya segera aku bawa.
            “Eh, kamu jangan turun dulu Vika. Kamu itu baru boleh pulang besok Vika. Sekarang kamu harus bedrest dulu. Ayo kamu tiduran lagi, “ Ibu menuntunku untuk kembali ke tempat tidur. Namun aku melepaskan tangannya dariku seraya berkata, “Aku tidak apa-apa kok. Cuma sedikit pegal-pegal aja.”
            Heh, Vika, kepalamu itu habis dijahit masih saja mengelak begitu. Ayo tidur lagi!” perintah Mbak Titan padaku dan menggandenga tanganku. Akan tetapi aku hanya menghempaskan tangannya dan tidak menuruti perkataannya.
            “Sudahlah tidak usah lebay begitu. Aku ini gak papa. Sekarang aku mau bicara sama Mbak Mutia berdua saja, hanya empat mata. Jadi tolonglah kalian semua harus keluar. Ini sangat penting,” aku langsung duduk di sofa yang berada di sudut kamar rumah sakit itu.
            “Ya udah deh. Ayo-ayo do lunga!” seru Mas Tomi dan mereka semua langsung meninggalkan kamarku, terkecuali Mbak Mutia yang memang kusuruh untuk tinggal di kamar denganku.
            Mbak Mutia langsung angkat bicara dan mengawali percakapannya denganku, ”Ada apa Vika? Kok mukamu panik dan serius begitu?” tanyanya dengan nada heran.
            “Mbak, apakah Mbak Mutia tahu sesuatu tentang kotak musik itu? Apakah Mbak Mutia masih ingat kejadian delapan tahun yang lalu?” tanyaku dengan segera dan cepat.
            “Lah Vik, bukannya kamu udah lupa ya tentang hal itu? Kan dulu ingatanmu akan hal itu memang sengaja aku bantu untuk melupakannya. Katamu sih kamu sudah lupa, kok tiba-tiba jadi ingat lagi?” raut wajahnya mendadak menjadi pucat pasi dan panik.
            “Aku memang sempat lupa untuk beberapa tahun mbak, tapi aku ingat lagi sekarang,” jawabku dengan singkat.
            “Terus sekarang kotak musiknya kamu taruh mana? Tadi kan kamu terjatuh ke belakang dan pelipismu berdarah, jadi kamu taruh mana Vik?” tanyanya dengan wajah yang semakin panik.
            Aku langsung menyahut, “Aku juga tidak tahu mbak. Tadi saat aku terjatuh aku sudah pusing dan tidak melihat apa-apa lagi. Terakhir aku melihat hantu gadis kecil itu berada tepat di tangga yang menuju ke lantai dua. Walaupun badannya kecil dan suranya sungguh nyaring, tapi dia itu berawajah cukup tua mbak. Aku tidak yakin bila umurnya dibawah tujuh belas tahun.” Adrenalineku mulai naik dan sedikit panik.
            “Kita harus segera mencarinya Vik. Lalu setelah ketemu, kamu harus mengembalikan kotak musiknya bersamaan dengan kuncinya. Jangan pisahkan kotak musik dan kunci itu ketika kau mengembalikannya,” ucap Mbak Mutia dengan nada yang sedikit lirih.
            “Ayo mbak, kita harus segera pulang ke rumah Nenek. Tapi darimana Mbak Mutia tahu tentang ini semua?” aku segera mencabut jarum infus dari tanganku walaupun sedikit terasa sakit dan perih.
            “Sebenarnya hantu itu adalah adik Nenek yang sudah meninggal sejak lama sekali. Lalu, ia mempunyai sebuah kotak musik indah yang harus Nenek kubur bersamanya. Namun karena Nenek tidak mau, Nenek pun malah menyimpan kotak musik itu di laci meja yang berada di kamar tidurnya. Adik Nenek yang bernama Saphira itu pun mengetahuinya dan marah dengan Nenek sehingga ia mengancam bahwa siapapun yang akan memainkannya, maka ia akan menculik orang itu untuk selamanya sebagai temannya. Entah itu berasal dari keluarganya sendiri, maupun orang asing. Ia merasa bahwa kotak musik itu adalah miliknya untuk kekal abadi bersamanya selama-lamanya dan ia tidak akan pernah ikhlas jika ada seseorang yang memainkannya. Saphira ingin kotak musik itu ia mainkan seorang dan kembali kepadanya. Saat Nenek hendak mengembalikan kotak musik itu padanya, ia pun ketakutan karena ternyata wajah adiknya itu sudah hancur dan berubah menjadi menyeramkan. Jadi Nenek pun tetap menyimpannya sampai sekarang ini,” jelas Mbak Mutia panjang lebar dan keringat mulai bercucuran di keningnya.
            “Okelah Mbak Mutia, terima kasih karena telah menjelaskan semuanya padaku. Sekarang ayo kita kembali ke rumah Nenek dan segera menemukan kotak musik itu beserta kuncinya. Kemudian, kita kembalikan semuanya itu kepadanya. Mungkin itulah yang ia inginkan,” aku langsung bergegas bangkit berdiri dan mengajak Mbak Mutia untuk keluar kamar.
            “Iya Vika, oke. Tapi apa kamu nggak takut untuk mengembalikannya sama Saphira?” ia mengusap semua keringat yang ada di keningnya.
            “Ya mungkin aku akan takut. Tapi demi semua kenyamanan hidup dan demi aku juga, demi semuanya, aku tidak akan takut untuk bertemu dengannya dan mengembalikannya,” aku menarik gagang pintu kamar rumah sakit yang aku tempati dan keluar dari kamarku diikuti oleh Mbak Mutia di belakangku.
            Semua saudaraku dan Ibuku langsung mendekati kami dan bertanya tentang apa yang kami bicarakan tadi di dalam. Tapi Mbak Mutia langsung memotong semua perkataan mereka dan berkata, “Vika harus segera keluar dari rumah sakit ini dan semua urusan di rumah sakit ini harus diselesaikan secepatnya.” Ia merangkulku.
            “Ya sudah. Ayo kita bagi tugas untuk merapikan pakaian Vika, mengantarnya pulang, dan untuk menyelesaikan semua biaya administrasi serta membeli obat buat Vika,” ujar Mas Dio yang juga langsung menuju ke arah pintu keluar diikuti olehku dan Mbak Mutia. Kami pun langsung masuk ke mobil yang dikemudikan olehnya.
***

Tidak ada komentar :

Posting Komentar