Perlahan
kubuka mataku dan kulihat secerca cahaya yang berwarna putih terang. Kubuka
mataku perlahan, sedikit demi sedikit dan kedua mataku pun terbuka lebar-lebar.
Di sana kulihat ada Ibu, Mbak Rahma, Mbak Mutia, Mas Tomi, Mas Dio, Mas Kevin,
Mbak Ema, Mbak Fara, Mbak Shafa, dan Mbak Titan. Mereka semua melihatku dengan
pandangan cemas. Aku bingung dan lupa dengan apa yang telah terjadi padaku.
“Gimana
Vik sudah baikan? Sakit gak?” aku pun heran saat Mbak Rahma bertanya seperti
itu. Aku pun bangun dari ranjangku, namun kurasakan kepalaku masih pusing dan
sakit. Sesaat aku baru terdasar bahwa aku berada di rumah sakit.
“Aduh,”
aku bersandar pada bantal yang ada di ranjang kamar rumah sakit. “Em, iya sih
Mbak masih sakit. Tapi gak papa kok. Kapan aku bisa pulang? Aku ingin segera
pulang nih,” sambungku seraya turun dari ranjang tidurku dan mencari kotak
musikku. Infusku yang masih menggantung di tempatnya segera aku bawa.
“Eh,
kamu jangan turun dulu Vika. Kamu itu baru boleh pulang besok Vika. Sekarang
kamu harus bedrest dulu. Ayo kamu
tiduran lagi, “ Ibu menuntunku untuk kembali ke tempat tidur. Namun aku
melepaskan tangannya dariku seraya berkata, “Aku tidak apa-apa kok. Cuma
sedikit pegal-pegal aja.”
“Heh, Vika, kepalamu itu habis dijahit
masih saja mengelak begitu. Ayo tidur lagi!” perintah Mbak Titan padaku dan
menggandenga tanganku. Akan tetapi aku hanya menghempaskan tangannya dan tidak
menuruti perkataannya.
“Sudahlah
tidak usah lebay begitu. Aku ini gak
papa. Sekarang aku mau bicara sama Mbak Mutia berdua saja, hanya empat mata.
Jadi tolonglah kalian semua harus keluar. Ini sangat penting,” aku langsung
duduk di sofa yang berada di sudut kamar rumah sakit itu.
“Ya
udah deh. Ayo-ayo do lunga!” seru Mas Tomi dan mereka
semua langsung meninggalkan kamarku, terkecuali Mbak Mutia yang memang kusuruh
untuk tinggal di kamar denganku.
Mbak
Mutia langsung angkat bicara dan mengawali percakapannya denganku, ”Ada apa
Vika? Kok mukamu panik dan serius begitu?” tanyanya dengan nada heran.
“Mbak,
apakah Mbak Mutia tahu sesuatu tentang kotak musik itu? Apakah Mbak Mutia masih
ingat kejadian delapan tahun yang lalu?” tanyaku dengan segera dan cepat.
“Lah
Vik, bukannya kamu udah lupa ya tentang hal itu? Kan dulu ingatanmu akan hal
itu memang sengaja aku bantu untuk melupakannya. Katamu sih kamu sudah lupa,
kok tiba-tiba jadi ingat lagi?” raut wajahnya mendadak menjadi pucat pasi dan
panik.
“Aku
memang sempat lupa untuk beberapa tahun mbak, tapi aku ingat lagi sekarang,” jawabku
dengan singkat.
“Terus
sekarang kotak musiknya kamu taruh mana? Tadi kan kamu terjatuh ke belakang dan
pelipismu berdarah, jadi kamu taruh mana Vik?” tanyanya dengan wajah yang
semakin panik.
Aku
langsung menyahut, “Aku juga tidak tahu mbak. Tadi saat aku terjatuh aku sudah
pusing dan tidak melihat apa-apa lagi. Terakhir aku melihat hantu gadis kecil
itu berada tepat di tangga yang menuju ke lantai dua. Walaupun badannya kecil
dan suranya sungguh nyaring, tapi dia itu berawajah cukup tua mbak. Aku tidak
yakin bila umurnya dibawah tujuh belas tahun.” Adrenalineku mulai naik dan
sedikit panik.
“Kita
harus segera mencarinya Vik. Lalu setelah ketemu, kamu harus mengembalikan
kotak musiknya bersamaan dengan kuncinya. Jangan pisahkan kotak musik dan kunci
itu ketika kau mengembalikannya,” ucap Mbak Mutia dengan nada yang sedikit
lirih.
“Ayo
mbak, kita harus segera pulang ke rumah Nenek. Tapi darimana Mbak Mutia tahu
tentang ini semua?” aku segera mencabut jarum infus dari tanganku walaupun
sedikit terasa sakit dan perih.
“Sebenarnya
hantu itu adalah adik Nenek yang sudah meninggal sejak lama sekali. Lalu, ia
mempunyai sebuah kotak musik indah yang harus Nenek kubur bersamanya. Namun karena
Nenek tidak mau, Nenek pun malah menyimpan kotak musik itu di laci meja yang
berada di kamar tidurnya. Adik Nenek yang bernama Saphira itu pun mengetahuinya
dan marah dengan Nenek sehingga ia mengancam bahwa siapapun yang akan
memainkannya, maka ia akan menculik orang itu untuk selamanya sebagai temannya.
Entah itu berasal dari keluarganya sendiri, maupun orang asing. Ia merasa bahwa
kotak musik itu adalah miliknya untuk kekal abadi bersamanya selama-lamanya dan
ia tidak akan pernah ikhlas jika ada seseorang yang memainkannya. Saphira ingin
kotak musik itu ia mainkan seorang dan kembali kepadanya. Saat Nenek hendak
mengembalikan kotak musik itu padanya, ia pun ketakutan karena ternyata wajah
adiknya itu sudah hancur dan berubah menjadi menyeramkan. Jadi Nenek pun tetap
menyimpannya sampai sekarang ini,” jelas Mbak Mutia panjang lebar dan keringat
mulai bercucuran di keningnya.
“Okelah
Mbak Mutia, terima kasih karena telah menjelaskan semuanya padaku. Sekarang ayo
kita kembali ke rumah Nenek dan segera menemukan kotak musik itu beserta
kuncinya. Kemudian, kita kembalikan semuanya itu kepadanya. Mungkin itulah yang
ia inginkan,” aku langsung bergegas bangkit berdiri dan mengajak Mbak Mutia
untuk keluar kamar.
“Iya
Vika, oke. Tapi apa kamu nggak takut untuk mengembalikannya sama Saphira?” ia
mengusap semua keringat yang ada di keningnya.
“Ya
mungkin aku akan takut. Tapi demi semua kenyamanan hidup dan demi aku juga,
demi semuanya, aku tidak akan takut untuk bertemu dengannya dan
mengembalikannya,” aku menarik gagang pintu kamar rumah sakit yang aku tempati
dan keluar dari kamarku diikuti oleh Mbak Mutia di belakangku.
Semua
saudaraku dan Ibuku langsung mendekati kami dan bertanya tentang apa yang kami
bicarakan tadi di dalam. Tapi Mbak Mutia langsung memotong semua perkataan
mereka dan berkata, “Vika harus segera keluar dari rumah sakit ini dan semua
urusan di rumah sakit ini harus diselesaikan secepatnya.” Ia merangkulku.
“Ya
sudah. Ayo kita bagi tugas untuk merapikan pakaian Vika, mengantarnya pulang,
dan untuk menyelesaikan semua biaya administrasi serta membeli obat buat Vika,”
ujar Mas Dio yang juga langsung menuju ke arah pintu keluar diikuti olehku dan
Mbak Mutia. Kami pun langsung masuk ke mobil yang dikemudikan olehnya.
***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar